JAKARTA, KOMPAS.com - Menjelang Pemilihan Kepala Daerah di Jawa Tengah, pemimpin mendatang dituntut untuk memperbaiki sektor kesehatan yang lebih menyejahterakan masyarakat.
Anggota DPR RI dari Fraksi PKS, Zuber Safawi, dalam siaran pers, Rabu (17/4/2013) menyebutkan beberapa indikator kesehatan yang menunjukkan masih lemahnya prioritas pembangunan kesehatan di Jawa Tengah, seperti tingginya kematian bayi dan balita, gizi buruk, kurangnya akses fasilitas kesehatan, angka kejadian penyakit menular, dan kondisi sanitasi.
"Itulah setumpuk 'PR' (pekerjaan rumah) bagi pemimpin di Jateng pasca Pilkada 26 Mei mendatang," kata Zuber.
Mengutip data riset kesehatan dasar (Riskesdas) terakhir oleh Kementerian Kesehatan, Zuber mengungkapkan, kematian bayi baru lahir di Jawa Tengah mencapai 26 per 100.000 kelahiran hidup.
Adapun angka kematian balita lebih besar mencapai 32 per 100.000 kelahiran hidup. Hal ini masih di bawah target pencapaian tujuan pembangunan millenium (MDG's), yakni menekan kematian bayi/balita hingga hingga di bawah 24 per 100.000 kelahiran hidup.
Angka tersebut ditunjang oleh rendahnya serapan Jaminan Persalinan (Jampersal) sebagai program gratis bagi ibu bersalin dan pasca persalinan.
Dari sasaran Jampersal di Jawa Tengah sebanyak 617.067 ibu hamil, hanya 126.691 atau sekitar 20 persennya saja memanfaatkan program tersebut, padahal Jampersal menjamin persalinan yang aman karena dibantu tenaga dokter/bidan.
Pemprov Jateng seharusnya lebih memprioritaskan program peningkatan kesehatan ibu dan bayi, serta mempermudah akses tersebut bagi masyarakat yang membutuhkan.
Selain itu, Jawa Tengah masih menghadapi masalah gizi buruk yang mendera calon generasi penerusnya. Berdasarkan survey yang sama, prevalensi gizi buruk menunjukkan 3,3 persen dan gizi kurang mencapai 12,4 persen.
Artinya terdapat 157 balita kurang gizi hingga gizi buruk setiap 1.000 balita di Jawa Tengah. Indikator tersebut kemungkinan ditopang oleh tingginya angka kemiskinan di Jawa Tengah yang mencapai 4,863 juta jiwa pada September 2012 (BPS), atau dengan persentase 14,98 persen dari total penduduk.
Angka kemiskinan ini lebih tinggi dibanding kedua tetangganya yakni Jawa Barat yang hanya 9,89 persen dan Jawa Timur yang mencapai 13,08 persen dari penduduk. Angka kejadian penyakit menular juga masih tinggi di Jawa Tengah, terutama kasus baru HIV/AIDS, TB Paru, kusta, campak, dan demam berdarah dengue (DBD).
Berdasarkan data Kemenkes 2011, kasus baru HIV/AIDS di Jateng mencapai 412, sehingga total penderita AIDS kumulatif mencapai 1.602 orang. Jateng menduduki peringkat ke-6 nasional dari 33 Provinsi.
Angka penderita Tuberculosis (TB) Paru sebagai indikator MDG's juga gagal diturunkan. Di Jateng, diperkirakan muncul Kasus TB Paru baru sebanyak 35.648 penderita. Angka ini tidak lebih baik pada kasus kusta, yang diperkirakan penderitanya baru sebanyak 2.233.
Jateng juga memiliki kejadian luar biasa (KLB) campak cukup tinggi. Tercatat ada 37 KLB campak selama 2011 di seluruh wilayah Jawa Tengah, tertinggi kedua setelah Jabar. DBD yang menyerang Jawa Tengah juga masih tinggi, dimana terdapat 4.474 kasus dan 44 diantaranya menyebabkan kematian.
Tingginya kasus kejadian penyakit menular belum diikuti dengan infrastruktur kesehatan untuk merawat para penderita yang sakit. Indikatornya adalah jumlah tempat tidur yang disediakan layanan kesehatan seperti puskesmas dan RS. Data Profil kesehatan 2011 menunjukkan, jumlah tempat tidur perawatan hanya 24.299 unit.
Menurut kriteria WHO, rasio jumlah tempat tidur (TT) perawatan terhadap jumlah penduduk adalah 1:1000 (1 unit TT setiap 1000 penduduk). Maka, seharusnya tedapat 32,4 ribu tempat tidur untuk 32,4 juta penduduk Jateng, atau masih kekurangan sekitar 8.200 tempat tidur perawatan.
"Namun, yang tidak kalah penting adalah program promotif dan preventif kesehatan dalam rangka menurunkan kasus penyakit serta efisiensi biaya bagi penanggulangan penyakit yang lebih besar," ujar Zuber.
Ia menegaskan, indikator suksesnya program tersebut antara lain dengan melihat evaluasi penerapan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) di masyarakat dan kondisi sanitasi yang layak.
Terdapat 2,5 juta rumah tangga yang dipantau memiliki PHBS cukup baik dari 8,6 juta rumah tangga di seluruh Jateng. Namun, berdasarkan data yang sama, terdapat 41,4 persen rumah tangga yang belum memiliki akses terhadap sanitasi layak sesuai standar MDG's.