JAKARTA, KOMPAS.com - Kejaksaan didesak segera mengeksekusi seluruh terpidana kasus korupsi beserta uang pengganti yang diputuskan Mahkamah Agung. Penyelesaian eksekusi tersebut untuk membuktikan komitmen pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dalam penegakan hukum, khususnya pemberantasan korupsi.
"Wajah pemberantasan korupsi oleh pemerintah ada di Kejaksaan dan Kepolisian, bukan di Komisi Pemberantasan Korupsi. Ini jadi beban buat Presiden. Kejaksaan berada di bawah Presiden," kata aktivis Indonesia Corruption Watch Tama Satya Langkun saat jumpa pers di Kantor ICW, Jakarta, Minggu (20/10/2013).
Hadir juga dalam jumpa pers tersebut yakni Bahrain dari YLBHI dan Erwin Natosmal dari Indonesian Legal Rountable. Mereka yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Anti Korupsi menyikapi Kejaksaan yang dinilai masih setengah hati dalam memberantas korupsi.
Setidaknya, data koalisi, ada 43 terpidana kasus korupsi yang belum dieksekusi dengan berbagai alasan. Mereka terlibat 37 kasus korupsi yang diputus sejak 2004 hingga 2012 . Kasus tersebut paling banyak berada di bawah lingkup Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah, yakni 18 kasus. Sisanya menyebar di berbagai daerah.
Tama mengatakan, berdasarkan data koalisi, ada 25 terpidana yang buron. Namun, berdasarkan data di laman resmi Kejaksaan Agung, hanya ada tujuh terpidana yang masuk dalam daftar pencarian orang.
Beberapa terpidana yang belum dieksekusi yakni Sumita Tobing terpidana kasus korupsi pengadaan peralatan TVRI, Sumadikin Hartono terpidana kasus korupsi BLBI Bank Modern, Adelin Lis terpidana korupsi dana reboisasi dan illegal logging di Mandailing Natal, serta Djoko S Tjandra terpidana korupsi cessie Bank Bali.
Tama menambahkan, alasan Kejaksaan belum melakukan eksekusi karena mereka masih buron, sakit atau sakit jiwa, serta masih mengajukan peninjauan kembali (PK). Padahal, berdasarkan UU, PK tidak bisa menghalangi eksekusi. Ia juga mempertanyakan sejauh mana langkah Kejaksaan memburu para koruptor yang buron.
Erwin mengaku khawatir lambannya proses eksekusi Kejaksaan memperbesar peluang bagi para koruptor untuk melarikan diri. Ia menyinggung putusan bebas terhadap Sudjiono Timan dalam kasus korupsi BLBI oleh majelis hakim PK di MA. Hingga tingkat kasasi, Sudjiono dianggap bersalah.
"Putusan bebas terhadap Sudjiono menjadi pukulan telak bagi upaya pemberantasan korupsi. Kami khawatir 37 kasus ini akan alami hal sama seperti Sudjiono Timan," kata Erwin.
Perampasan aset
Selain eksekusi fisik terpidana, Kejaksaan juga didesak bergerak cepat memproses eksekusi harta hasil korupsi. Erwin memberi contoh belum dieksekusinya putusan MA terhadap aset milik Soeharto di Yayasan Beasiswa Supersemar.
Putusan MA tahun 2010, kata Erwin, Yayasan Supersemar harus membayar denda senilai Rp 3,17 triliun. Tapi hampir tiga tahun pascaputusan inkrah, tidak ada kemajuan berarti dalam proses eksekusi.
"Ini baru satu yayasan. Ada enam yayasan lain milik Soeharto yang harus digugat kembali oleh kejaksaan sebagai pengacara negara," kata Erwin.
Tama menambahkan, belum optimalnya eksekusi terhadap uang pengganti hasil korupsi terlihat dari laporan pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan. Saldo piutang Kejaksaan per 30 Juni 2012 khusus untuk uang pengganti mencapai Rp 12,7 triliun dan 290 ,4 juta dollar AS.
"Kalau ada uang pengganti yang tidak bisa dieksekusi, ambil hartanya. Kalau tidak cukup, baru diganti pidana kurungan. Kami mendesak Kejaksaan Agung mengeksekusi uang pengganti dan denda untuk memaksimalkan asset recovery," kata Tama.
Editor : Ana Shofiana Syatiri
Anda sedang membaca artikel tentang
43 Terpidana Korupsi Belum Dieksekusi Kejaksaan
Dengan url
http://recognizethedanger.blogspot.com/2013/10/43-terpidana-korupsi-belum-dieksekusi.html
Anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya
43 Terpidana Korupsi Belum Dieksekusi Kejaksaan
namun jangan lupa untuk meletakkan link
43 Terpidana Korupsi Belum Dieksekusi Kejaksaan
sebagai sumbernya
0 komentar:
Posting Komentar