oleh Ichwan Susanto dan Irwan Julianto
Tingginya tingkat konsumsi rokok di suatu negara berkorelasi dengan longgar atau ketatnya regulasi terhadap rokok. Hingga tahun 2009, Indonesia menempati peringkat keempat di dunia dalam konsumsi rokok setelah China, Amerika Serikat, dan Rusia. Namun, kini Indonesia menyodok ke peringkat ketiga untuk konsumsi rokok terbanyak di dunia setelah China dan India.
Bagaimana regulasi soal rokok di negara-negara lain mulai dari yang paling longgar hingga yang paling ketat?
China
Sebagai negara dengan penduduk terbesar di dunia mencapai lebih dari 1,3 miliar jiwa, China menjadi produsen sekaligus konsumen rokok terbesar di dunia. Melalui perusahaan monopoli yang dibentuk negara pada tahun 1991 melalui UU Monopoli Tembakau, China National Tobacco Corporation (CNTC) menguasai 98 persen pasar rokok di China yang menghasilkan lebih dari 2,1 triliun batang rokok (2008).
Ditaksir sekitar sepertiga penduduk dewasa di China adalah perokok. Laki-laki dewasa 53 persen (bandingkan dengan Indonesia yang mencapai 67 persen) dan perempuan 2 persen.
Cukai rokok di China sangat rendah sehingga rokok dijual murah. Harga rokok 7-10 yuan atau dengan kurs 1 yuan setara Rp 1.400 harganya Rp 9.800-Rp 14.000 per kemasan. Hampir sama dengan di Indonesia. Nilai cukai 30-40 persen dari harga rokok.
Meski telah meratifikasi Konvensi Kerangka Kerja untuk Pengendalian Tembakau (FCTC) pada 11 Oktober 2005, China masih belum memiliki regulasi secara nasional untuk mengendalikan konsumsi rokok warganya. Pengendalian rokok terbagi pada lintas sektor, seperti UU Periklanan Tahun 1994 yang melarang iklan rokok pada film, televisi, radio, koran, dan majalah. Untuk iklan luar ruang pengaturannya diserahkan kepada pemerintah daerah masing-masing.
Dalam soal pengemasan, pada tahun 2008 China mengaturnya, tetapi dapat dikatakan terlalu longgar, bahkan Indonesia jauh lebih baik. Peringatan kesehatan pada kemasan yang luasannya 30 persen hanya berbentuk teks.
Industri rokok dilarang menggunakan kata-kata menyesatkan seperti mild atau low tar. Kementerian Kesehatan China melarang merokok di 28 lokasi ruang dalam (indoor), seperti tempat belajar, kafe internet, angkutan umum, ruang tunggu di bandara, dan pesawat.
India
Dibandingkan China dan Indonesia, India sebenarnya jauh lebih maju dalam regulasi rokok. Ini berkat keberanian politis Menteri Kesehatan Dr Anbumani Ramadoss.
Ia berani mengambil risiko dimusuhi industri rokok dan petani tembakau karena sejak Oktober 2008 melarang rokok diiklankan dan dipromosikan di media massa, media luar ruang, ataupun menjadi sponsor olahraga dan pergelaran musik. Ketika Kompas mengunjungi India pada tahun 2009 memang tak terlihat satu pun baliho iklan rokok di jalanan India. Sungguh kontras dengan situasi di Indonesia.
India telah meratifikasi FCTC pada 5 Februari 2004. Lebih dari 275 juta perokok di India atau sepertiga penduduk dewasanya mengonsumsi tembakau. Prevalensi laki-laki perokok 48 persen dan perempuan 20 persen.
Produk tembakau yang mendominasi di India adalah semacam rokok lintingan yang dibungkus daun tendu yang dikeringkan, khas India yang biasa disebut bidi. Oleh produsennya, bidi diberi perasa menarik seperti vanila, cokelat, stroberi, atau mangga.
Cukai rokok masih rendah sekitar 40 persen dan cukai bidi sekitar 9 persen. Harga bidi di India sangat murah, sekitar 4 rupee atau Rp 700 per pak berisi 10-12 batang dengan nilai kurs 1 rupee setara Rp 180. Harga rokok sekitar 20 rupee atau Rp 3.600 per pak.
Bidi menguasai 48 persen pasar tembakau, tembakau kunyah 38 persen, dan rokok 14 persen. The Imperial Tobacco Company Group menguasai 58 persen pasar rokok di India, Philip Morris International 12 persen, dan Golden Tobacco Ltd 11 persen.
Pada tahun 2008, sekitar 98 miliar batang rokok terjual di India. Diperkirakan sekitar satu juta warga India meninggal setiap tahun akibat penyakit yang disebabkan oleh tembakau.
Peringatan bergambar di kemasan rokok sudah diterapkan, tetapi hanya di bagian depan kemasan dan harus diganti setiap 24 bulan. Industri juga dilarang menggunakan deskripsi yang membuat salah persepsi seperti pencantuman kata light, ultralight, atau low tar.
Thailand
Selain Singapura dan Malaysia, Thailand tergolong maju dalam regulasi rokok. Negara ini telah meratifikasi FCTC pada 8 November 2004. Thailand telah banyak menunjukkan kemajuan dalam mengendalikan konsumsi rokok di negaranya. Ini ditunjukkan dengan prevalensi perokok yang turun. Tahun 1995, prevalensi pria perokok mencapai 70 persen dan kini 40 persen.
Kemajuan Thailand ini didukung oleh sejumlah regulasi pemerintahnya yang mendukung pengendalian tembakau. Pada tahun 1992, Thailand menerbitkan dua perundangan yang mengontrol tembakau.
Pertama, UU Pengendalian Produk Tembakau yang mengatur pengemasan, pelabelan, promosi, periklanan, dan sponsorship produk tembakau. Thailand menggunakan peringatan kesehatan berupa teks dan gambar di kemasan rokok sejak Maret 2005. Thailand juga melarang hampir semua iklan dan promosi tembakau.
Perundangan kedua adalah UU Perlindungan Kesehatan bagi Nonperokok. UU ini memberi mandat bagi Kementerian Kesehatan Thailand mengeluarkan berbagai keputusan yang melarang semua kegiatan merokok di tempat publik, tempat kerja, dan transportasi publik.
Harga rokok di negara ini cukup mahal, sekitar Rp 50.000 per pak. Ini karena cukai rokok di Thailand sangat tinggi yang dinaikkan bertahap dari 55 persen (1992) hingga 85 persen (2009).
AS dan Australia
Tanggal 22 Juni 2009, Presiden AS Barack Obama menandatangani UU Pencegahan Merokok dalam Keluarga dan Pengendalian Tembakau yang rancangannya telah disetujui Kongres. Legislasi ini memberikan kekuatan dahsyat kepada Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA) untuk meregulasi rokok.
Rokok tak boleh dijual di kios atau toko yang berdekatan dengan sekolah. Pembeli rokok dibatasi dengan kewajiban menunjukkan kartu identitas yang menyatakan bahwa mereka berusia minimal 18 tahun.
Menurut Obama, lebih dari 400.000 warga AS meninggal setiap tahun karena penyakit yang terkait tembakau. Ini menjadi penyebab paling utama kematian yang dapat dicegah di AS. Lebih dari 8 juta warga AS menderita setidaknya satu penyakit serius yang disebabkan oleh rokok. Ini membebani Pemerintah AS lebih dari 100 miliar dollar AS per tahun.
Hampir 90 persen dari semua perokok di AS mulai merokok sebelum usia 18 tahun. "Anak- anak dan remaja menjadi perokok bukan tanpa alasan. Mereka menjadi target promosi agresif industri rokok. Tahun 1994, para CEO industri rokok pertama kali dihadirkan di Kongres.
Mereka membantah tembakau mematikan, nikotin adiktif, serta membidik anak-anak dan remaja. Mereka menghabiskan miliaran dollar AS untuk lobi dan iklan guna membantah semua tuduhan itu. "Kini, 15 tahun kemudian kampanye mereka gagal," kata Obama, yang mengaku pernah menjadi perokok aktif dan adiktif.
Bagaimana dengan Australia? Dibandingkan AS, regulasi di negeri ini lebih ketat. Tanggal 2 Januari lalu Pemerintah Australia mengeluarkan Strategi Tembakau Nasional 2012-2018 yang diadopsi oleh pemerintah federal dan semua negara bagian.
Prioritasnya ada tujuh, yaitu melindungi kebijakan kesehatan dari campur tangan industri rokok, melarang total iklan dan sponsorship rokok, mengurangi ketersediaan rokok, meningkatkan kawasan tanpa rokok, memperkuat kampanye media massa dan pendidikan publik, meningkatkan layanan berhenti merokok, dan regulasi lebih ketat terhadap isi rokok serta suplai tembakau.
Menteri Kesehatan Australia Tanya Joan Plibersek berkomitmen untuk mewajibkan kemasan rokok bersifat generik tanpa menonjolkan merek rokok aslinya karena yang ditonjolkan adalah label peringatan bahaya merokok. Tujuan kebijakan ini adalah memutus kesetiaan pada merek (brand loyalty) rokok tertentu.
Anda sedang membaca artikel tentang
Belajar dari Regulasi Rokok Negara Lain
Dengan url
http://recognizethedanger.blogspot.com/2013/02/belajar-dari-regulasi-rokok-negara-lain.html
Anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya
Belajar dari Regulasi Rokok Negara Lain
namun jangan lupa untuk meletakkan link
Belajar dari Regulasi Rokok Negara Lain
sebagai sumbernya
0 komentar:
Posting Komentar