JAKARTA, KOMPAS.com- Penggabungan IPA dalam mata pelajaran lain seperti Bahasa Indonesia di jenjang Sekolah Dasar masih menuai pro-kontra. Namun, dari berbagai masukan soal struktur kurikulum di SD, pendidikan sains dirasakan tetap perlu ditonjolkan sebagai mata pelajaran tersendiri.
"Kalau kita cermati kurikulum 2013, pendidikan sains di jenjang dasar sampai menengah jadi terkesan tidak nyambung. Di jenjang SD, keinginan pemerintah sepertinya ingin sains terintegrasi di pelajaran lain, seperti Bahasa Indonesia. Tetapi jenjang SMA nanti yang diminta kompetensi metakognisi atau melampaui kognitif," kata Nuryani Y Rustaman, Ketua Himpunan Sarjana Pendidikan IPA Indonesia yang dihubungi dari Jakarta, Jumat (14/12/2012).
Menurut Nuryani, pendidikan sains tetap perlu diperkenalkan sebagai mata pelajaran tersendiri sejak di SD. Tentu saja, pembelajaran sains di SD yang saat ini dikeluhkan berat harus diubah sedemikian rupa sehingga jadi menyenangkan.
"Mengapa sains terasa berat buat anak SD karena yang diajarkan selama ini pengetahuannya atau hafalannya. Adapun proses untuk membuat siswa jadi menyenangi pelajaran sains dan terbentuk budaya ilmiahnya selama proses belajar sains memang terbaikan," kata Nuryani.
Nuryani menambahkan, dalam pembelajaran sains siswa perlu mengalami sendiri lewat penelitian sederhana. "Dikhawatirkan, nanti IPA kembali jadi pengetahuan semata lewat membaca buku teks kalau IPA dititipkan ke Bahasa Indonesia," kata Nuryani.
Trend dunia pun saat ini memang mengutamakan pendidikan sains yang diperkenalkan sejak dini. Penilaian-penilaian di dunia juga mengukur sains, seperti Indonesia yang mengikuti penilaian PISA dan TIMSS yang menekankan literasi matematika, sains, dan bahasa, tentu perlu fokus.
Soal pembelajaran sains di SD, pemerintah memberikan tiga alternatif di kurikulum 2013. Alternatif pertama, tidak ada mata pelajaran sains karena terintegrasi di pelajaran lain, yakni Bahasa Indonesia dan Matematika.
Selain itu, semua pembelajaran tematik integratif di SD dilaksanakan dengan pendekatan sains yakni siswa mengamati, menanya, mengolah, menalar, menyajikan, menyimpulkan, dan mencipta.
Alternatif kedua, mata pelajaran IPA diperkenalkan mulai kelas IV - VI. Adapun alternatif ketiga di kelas V-VI.
"Kami memperjuangkan supaya IPA dimulai sedini mungkin. Jika pemerintah bersikeras, kami memperjuangkan alternatif kedua, yakni dimulai dari kelas IV SD," jelas Nuryani.
Nuryani justru mengkritisi keinginan pemerintah yang ingin menguatkan karakter siswa dengan menambah jam pelajaran di PPKn dan Agama. "Pendidikan sains juga dapat membentuk budaya ilmiah siswa. Ini jangan diartikan bahwa inetelektualitasnya saja yang diutamakan, tetapi karakter siswa yang ilmiah juga terbentuk," ujar Nuryani.
Dengan dikembangkannya sikap ilmiah siswa lewat pembelajaran sains yang benar, lanjut Nuryana, siswa dapat mengembangkan sikap ingin tahu dan senantiasa mendahulukan bukti. Selain itu, siswa menjadi luwes terhadap gagasan baru, menerenung secara kritis, dan peka/peduli terhadap mahluk hidup dan lingkungan.
Sementara itu, Suhertuti, dosen di jurusan bahasa dan sastra Indonesia, Universitas Negeri Jakarta, mengatakan bahasa itu sebagai alat untuk mempelajari apa saja. "Jadi, tidak masalah belajar bahasa diintegrasikan ke mata pelakaran lain, malah lebih bagus. Tetapi tentu saja untuk di SD fokusnya bukan mengajarkan bahasa-bahasa ilmiah atau menulis ilmiah. tetap bisa fokus ke IPA-nya, kata Suhertuti.
Menurut Suhertuti, dalam pengintegrasian bahasa dan mata pelajaran lain, perlu kemampuan guru untuk kreatif dalam pembelajaran. Selain itu, harus jelas kompetensi penilaian yang dikehendaki sehingga pengintegrasian tersebut bermakna yang membuat siswa semakin memahami konsep IPA secara menyenangkan.
Khairil Anwar Notodipuro, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian dan Kebudayaan, mengatakan meskipun IPA atau IPS terintegrasi sebenarnya secara substansi tidak akan hilang. Pembelajaran tematik integratif dilaksanakan dengan pendekatan sains dan memfokuskan pada fenomena alam, sosial dan budaya sebagai obyek pembelajaran.
"Pemerintah sedang meminta masukan mana yang terbaik. Karena itu, kami berharap bukan cuma kritikan dan opini, tetapi solusi yang pas untuk penyempurnaan kurikulum 2013," demikian kata Khairil.
Editor :
Tjahja Gunawan Diredja
Anda sedang membaca artikel tentang
Pendidikan IPA di SD Perlu Tersendiri
Dengan url
http://recognizethedanger.blogspot.com/2012/12/pendidikan-ipa-di-sd-perlu-tersendiri.html
Anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya
Pendidikan IPA di SD Perlu Tersendiri
namun jangan lupa untuk meletakkan link
Pendidikan IPA di SD Perlu Tersendiri
sebagai sumbernya
0 komentar:
Posting Komentar