JAKARTA, KOMPAS.com - Keinginan Pemerintah Indonesia menjadikan PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) sebagai perusahan pelat merah mulai 1 November 2013 hampir terwujud. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sudah memberikan lampu hijau penggunaan bujet negara untuk membeli 58,8 persen saham Inalum dari konsorsium Nippon Asahan Aluminium (NAA).
Rabu (30/10/2013) kemarin, Komisi XI DPR menggelar rapat untuk membahas akuisisi PT Inalum ini. Rapat yang dihadiri Menteri Keuangan Chatib Basri ini dipimpin Ketua komisi XI Olly Dondokambey.
DPR setuju, pemerintah menggunakan dana di APBN 2012 sebesar Rp 2 triliun dan di APBN 2013 dengan nilai anggaran Rp 5 triliun untuk akuisisi Inalum. "Jadi total dana yang disetujui DPR membeli 58,8 persen saham PT Inalum Rp 7 triliun," kata Chatib.
Chatib menjelaskan, hingga Rabu (30/10/2013), belum ada kesepakatan harga dengan konsorsium NAA. Tapi berdasarkan hasil audit yang dilakukan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), nilai 58,8 persen saham Inalum per 31 Maret 2013 setara 453 juta dollar AS.
Namun, bila menilik kenaikan harga saham Inalum per 31 Oktober 2013, BPKP memproyeksikan harga saham Inalum menjadi 558 juta dollar AS.
Nilai ini didasarkan bahwa selama tujuh bulan, sejak dilakukannya audit telah terjadi peningkatan nilai aset karena aktivitas bisnis yang berkembang, dan aktivitas lainnya dari Inalum.
Hanya perlu diingat, dalam negosiasi terakhir, NAA masih meminta agar 58,8 persen saham mereka dihargai 626 juta dollar AS, lebih murah ketimbang permintaan pertama yakni 650 juta dollar AS.
Dengan modal akuisisi yang dimiliki pemerintah sebesar Rp 7 triliun atau setara 630,6 juta dollar AS sudah mencukupi untuk membayar 58,8 persen saham Inalum sesuai permintaan NAA. Meski begitu, Chatib optimistis nilai saham Inalum bisa lebih rendah, bahkan dari proyeksi BPKP.
Sayang, Menkeu enggan memerinci tawaran terakhir Pemerintah Indonesia dengan alasan bagian strategi bernegosiasi.
Menggelar RUPS
Yang jelas, Kementerian Negara BUMN akan menggelar Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) untuk mendapatkan persetujuan pengalihan saham dari NAA kepada Pemerintah Indonesia.
Deputi di Kementerian BUMN Dwijanti Cahyaningsih Rabu (30/10/2013) mengatakan, RUPS untuk mendapatkan persetujuan dari NAA dan pemegang saham lainnya. Di RUPS ini pemerintah akan menempatkan wakil di jajaran manajemen baru PT Inalum.
Tapi sayangnya Dwijanti masih enggan memberikan komentar mengenai langkah pemerintah. Ia mengaku semua harus menunggu pelaksanaan RUPS dan kesepakatan dengan pihak Jepang.
Wakil Ketua Komisi XI Harry Azhar mengaku soal teknis pengalihan apakah kepada Menteri Keuangan atau Menteri BUMN tersebut tidak dibahas dalam rapat kerja. "Kalau Inalum langsung di bawah Kementerian BUMN, maka Kementerian harus menyiapkan BUMN baru bagi Inalum," ujarnya.
Jatah Pemda Sumut
Masalah lain yang bakal muncul setelah pembelian saham Inalum dari investor Jepang kelar adalah menyikapi keinginan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara dan 10 daerah kabupaten/kota di kawasan Inalum yang ingin ikut andil menjadi pemegang saham Inalum.
Chatib menegaskan, pembagian saham ini harus menunggu saham Inalum 100 persen dikuasai oleh pemerintah Indonesia lebih dahulu, baru dibagi ke daerah. Seperti diketahui bahwa, DPR telah menentukan porsi saham yang bisa diambil oleh Pemda adalah sebesar 30 persen.
Hanya saja, Menteri BUMN Dahlan Iskan mengingatkan kepada Pemda agar merencanakan keuangannya dengan matang sebelum ikut membeli saham Inalum. "Karena uang yang dibutuhkan untuk akuisisi ini cukup besar, jangan sampai memaksakan keuangan daerah, terus daerahnya jadi tidak terurus," ujar Dahlan, Kamis ( 31/10/2013).
Gubernur Sumatera Utara (Sumut), Gatot Pudjo Nugroho sebelumnya mengatakan bahwa Pemda Sumut siap untuk ikut bagian dalam membeli saham Inalum.
"Uang pemerintah daerah memang tidak sebanyak itu. Tetapi, untuk pengambilalihan Inalum, kita bisa pinjam dan bekerja sama dengan pihak ketiga lainnya," kata Gatot. Pemda Sumut paling tidak akan membeli sekitar 20 persen saham Inalum.
Gatot mengatakan, untuk membantu pendanaan Inalum, kemungkinan pihaknya akan bekerja sama dengan PT Toba Bara Sejahtra Tbk (TOBA) dan Apemindo (Asosiasi Pengusaha Mineral Indonesia). Memang sebelumnya Apemindo secara gamblang menyatakan ketertarikannya untuk membeli saham Inalum.
Direktur Eksekutif Apemindo, Ladjiman Damanik mengatakan beberapa waktu lalu bahwa pihaknya tengah menyiapkan proposal untuk pengajuan kerja sama pembelian saham Inalum.
"Kami masih dalam tahap rancangan skema pendanaan dan desain penanaman produksi," ujar Ladjiman beberapa waktu lalu.
Ladjiman mengakui pihaknya akan mengumpulkan sumber dana, baik dari dalam maupun luar negeri. "Kita sudah mengumpulkan sumber dana sendiri, namun tentunya belum mencukupi. Kita sedang cari dana dari dalam dan luar negeri," kata Ladjiman kepada KONTAN (20/5).
Bahkan TOBA telah mengantongi komitmen pendanaan dari beberapa bank asing senilai US$ 600 juta untuk membeli sebagian saham Inalum. "Soal berapa persen saham yang diambil, terserah Pemda," kata Luhut Binsar Panjaitan pensiunan Jenderal sekaligus pemilik TOBA.
Rugi Selama 22 tahun
Pengambilalihan saham Inalum dari NAA oleh pemerintah Indonesia dikarenakan kerjasama yang terjalin selama ini merugikan pemerintah Indonesia. Menurut Menteri Keuangan Agus Martowardojo pemerintah menderita kerugian selama 22 tahun sejak proyek kerjasama pengolahan aluminium berlangsung 30 tahun lalu.
Memang Agus tidak mengungkapkan seberapa besar nilai kerugian tersebut. Namun menurutnya besaran kerugian itu bisa dihitung dari selisih harga 1 ton bauksit dengan harga 1 ton alumunium.
"Bayangkan selisih harga 1 ton alumunium jika dibandingkan dengan harga 1 ton bauksit itu selisih harganya mencapai 148 kali lipat, bayangkan saja itu," tutur mantan bankir Bank Mandiri itu.
Oleh karenanya, Agus ingin pemerintah mengambil alih kepemilikan saham sisa Inalum agar Indonesia bisa mendapat keuntungan. Dahlan Iskan, menambahkan jika pemerintah telah mengambil alih 58,8 persen saham Inalum maka seluruh keuntungan mengalir ke kas negara. Dahlan mengungkapkan, Inalum memproduksi aluminium dan bisnis komoditas tambang ini memiliki prospek keuntungan yang sangat besar.
"Bisnis aluminium sangat menguntungkan. Sebab, saat ini kebutuhan aluminium sangat besar untuk pembangunan dan selama ini kebutuhannya kita impor," katanya.
Menurutnya, keuntungan lain bagi Indonesia adalah 70 persen produksi Inalum yang selama ini harus dikirim ke Jepang hal itu tidak akan terjadi lagi. Selain itu, jika sebelumnya Indonesia impor aluminium, ke depan bukan tak mungkin negeri ini bisa menjadi eksportir aluminium.
Bukan cuma itu. Keuntungan lainnya, menurut Dahlan, Inalum juga memiliki pembangkit listrik berkapasitas 600 Megawatt. Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) berasal dari Danau Toba dan disebut Dahlan memiliki harga yang rendah.
Konsep kerja awal Inalum
Lalu apa rencana pemerintah untuk Inalum kedepan?. Dahlan mengaku sudah menyiapkan bussiness plan yang akan dilakukan oleh BUMN terhadap Inalum.
Pertama, mengalihkan semua kas perusahaan yang selama ini berada di Jepang yang sebesar Rp 2,5 triliun ke bank BUMN di Indonesia. "Banknya ya terserah perusahaan, kami tidak menentukan, pokoknya tanggal 1 November 2013 sudah harus pindah," katanya.
Sebenernya pemerintah sudah berupaya agar uang kas perusahaan itu ditempatkan di Indonesia sejak awal tahun. Namun pihak Jepang belum setuju karena mayoritas pemegang sahamnya berada di Jepang.
Kedua, perihal masalah bahan baku. Menurut Dahlan, pihaknya meminta agar bahan baku jangan sampai dialihkan ke Indonesia seluruhnya. Dikhawatirkan, ke depannya Inalum akan mengalami kesulitan untuk memperoleh bahan baku.
Terkait hal itu, Dahlan meminta kepada pemerintah agar direksi memperpanjang kontrak pembelian bahan baku untuk dua tahun ke depan.
Ketiga, terkait masalah pasar di mana selama ini pasar Inalum dikirim ke Jepang dengan jumlah yang besar. "Nah, kita nanti mau jual kemana? Untuk itu kami meminta bantuan kepada pemerintah supaya dicari pembeli dalam negeri," katanya.
Dengan tahapan kerja yang sudah dirancang tersebut, Dahlan optimistis bahwa Inalum akan berjalan dengan lancar dan dapat memberi keuntungan bagi Indonesia. Semoga!. (Hendra Gunawan, Asep Munazat Zatnika, Agus Triyono, Mimi Silvia)
Editor : Bambang Priyo Jatmiko